Kalau ranah teknis didominasi politik

Bencana lumpur Porong Sidoarjo masih belum jelas penyelesaiannya. Terakhir, DPR RI belum berhasil menemukan solusi penanganan lumpur. Sebagian anggota DPR RI malah mau mempolitisasi lumpur Porong dengan mengusulkan bahwa kejadian Lumpur Porong adalah bencana alam. Sebagian lagi anggota DPR RI tetap berpendapat bahwa kejadian lumpur Porong adalah akibat kelalaian. Penyelesaian lumpur Porong memang perlu dukungan politik termasuk dari DPR RI, tapi dukungan politik itu hendaknya adalah pada penanganan para korban bencana, bukan pada penyebab bencana. Lembaga DPR adalah lembaga politis, jadi mestinya menyelesaikan aspek politiknya, penyebab bencana itu sendiri harus dikaji oleh para ahli dibidang geologi, pertambangan dan ahli lainnya.

Kalau DPR masuk di ranah teknis seperti mencari penyebab bencana, maka itu adalah politisasi terhadap aspek teknis. Bagi sebagian orang, penyebab bencana itu memang penting, karena dengan begitu, maka penanggungjawab terhadap penanggulangan dan pemulihan bencana akan lebih mudah ditetapkan. Penyelesaian korban lumpur memang dipengaruhi seberapa jauh yang menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas, dan seberapa jauh yang menjadi tanggng jawab Pemerintah. Kalau bencana lumpur ditetapkan sebagai bencana alam, maka hampir pasti Lapindo Brantas akan terbebas dari kewajiban menanggung beban penanggulangan dan beban pemulihan lingkungan.

Masuk akal kalau Lapindo Brantas membuat kalkulasi, apakah lebih murah menanggulangi korban atau mengusahakan supaya bencana itu ditetapkan sebagai bencana alam. Tapi kalkulasi seacam itu tentu saja termasuk kalkulasi jahat dan tidak etis.

Meski bencana lumpur Porong ditetapkan sebagai bencana akibat kelalaian, tidak mudah untuk menjerat Lapindo Brantas secara hukum untuk bertanggungjawab atas seluruh akibat bencana itu. Pasal-pasal peraturan yang akan digunakan menjerat Lapindo Brantas tidak cukup kuat. Lapindo Brantas akan berusaha mati-matian mempertahankan argumentasi bahwa kejadian itu merupakan kecelakaan yang tidak disengaja.

Dari segi lingkungan hidup, bencana lumpur Porong adalah bencana yang luar biasa merusak lingkungan. Meski begitu Undang-Undang 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, tidak cukup ampuh untuk menjerat Lapindo sebagai pengrusak lingkungan. Karena itu perlu upaya berlapis-lapis, agar kerusakan lingkungan yang terjadi bisa dipulihkan. Dan yang penting beban pemulihan itu haruslah menjadi tanggung jawab pelaku yang lalai, dalam hal ini Lapindo Brantas. Bila tanggung jawab itu dijadikan beban APBN atau APBD, berarti rakyat yang dibebani memikul tanggung jawab Lapindo Brantas.

One thought on “Kalau ranah teknis didominasi politik

  1. Sungguh konyol bhw Aburizal Bakrie mjd org terkaya di Indonesia, sementara begitu banyak org mjd korban kegiatan bisnis Bakrie Group. Korban tsb bukan hanya mereka yg rumahnya terkena lumpur, tetapi juga para pemakai jalan lintas Porong.

    Sebuah perusahaan swasta yg bergandeng tangan dg pemerintah–sbgmana Lapindo di Porong–sebenarnya wajar. Tapi, jika mereka intens mencari untung dg cara tsb, mereka jg hrs siap menanggung kerugian jk terjadi sesuatu. Di mana2 bisnis itu ibarat judi: hrs siap rugi. Sementara Bakrie Group ini hanya mau untungnya.

    Bakrie Group sehrsnya menanggung setiap kerugian. Jangan ada warga yg ikut menanggung rugi. Setiap sen aset warga yg hilang hrs diganti oleh Bakrie Group. Jalan tol yg rusak jg hrs dibangun kembali dg biaya mereka. Jangan gunakan APBD yg berasal dari pajak rakyat. Kalau perlu, keluarga Bakrie memakai harta terakhir mereka, sbg konsekuensi “kalah judi” tsb. Tdk ada ruginya kok bagi Indonesia jk seorg Aburizal Bakrie jatuh bangkrut.

    Jk pemerintah tdk bisa diandalkan utk hal ini, rakyat bisa memakai senjata lain: pemilu/pilkada. Tinggal diekspos saja apa posisi Aburizal Bakrie di Partai Golkar. Jk Golkar msh ingin dpt suara warga Jawa Timur, mereka hrs mengusahakan pertanggungjawaban Aburizal Bakrie.

    Like

Leave a comment