Kayu Bakar Juga Sulit, Ban Bekas Jadi Andalan

Koran Sindo, Senin, 07/04/2008

Tidak ada rotan akar pun jadi. Ketika minyak tanah menjadi barang supermahal dan kayu bakar sulit didapat,ban bekas pun bisa terpakai.

SUDAH sebulan ini, Sri Nuryatun, 40,warga Desa Sudimoro, Kec Megaluh, kembali memakai tungku dari tanah liat yang telah lama ‘dipensiunkannya’. Kompor minyak tanah yang sebelumnya menjadi andalan, ganti dia geletakkan. Kembali menggunakan tungku bukan tanpa risiko. Bergumul dengan asap yang membuat baju bau sangit adalah pilihan yang harus diterima.

Itu belum lagi mata kerap berair karena pedih kemasukan asap dari hasil pembakaran. ‘Derita’ Sri menjadi berlipat karena asap hitam jumlahnya tak tanggung- tanggung.Ini karena bahan bakar memasak itu bukalah kayu bakar melainkan ban bekas. Siapa pun tahu,polusi akibat pembakaran ban lebih banyak daripada kayu bakar. Asapnya juga lebih pekat dan menyesakkan dada. Bagi Sri, menggunakan tungku adalah pilihan yang tak dapat dihindari.

Minyak tanah sudah lagi terjangku kantongnya yang pas-pasan. ”Harganya sampai Rp 3.700. Susah sekali mencarinya. Kalaupun ada, harus antre berjam-jam,’’ keluh Sri sembari terus meniup tungku. Selain alasan semakin mahalnya minyak tanah, Sri juga mengaku jika menggunakan ban bekas untuk memasak jauh lebih hemat dari sisi pengeluaran. Pasalnya,bahan bakar alternatif itu diperoleh secara gratis dari beberapa tetangganya yang memiliki bengkel sepeda motor.

‘’Tidak beli. Setiap hari saya mendatangi bengkel-bengkel yang punya ban bekas,lantas saya minta,’’ terang ibu dua anak ini. Dia mengaku,dengan menggunakan ban bekas ini, dirinya bisa lebih berhemat. Sri mengungkapkan, setiap hari paling tidak mengeluarkan Rp 5.000 untuk membeli minyak tanah. Karena minyak tanah telah dia tinggalkan,uang itu bisa dipakai untuk keperluan sekolah dua anaknya.

”Sebagai seorang janda yang memiliki dua anak sekolah,uang Rp 5.000 sangat berarti. Apalagi penghasilan sebagai buruh tani musiman sangat minim,’’ tuturnya. Nestapa akibat melambungnya harga minyak tanah tak cuma dialami Sri. Puluhan tetangganya juga melakukan upaya peng hematan dengan cara demikian. Salah satunya adalah Marliyah, 38, ibu rumah tangga yang memiliki suami sebagai buruh tani ini. Seperti Sri, alasan menggunakan ban bekas untuk memasak.

‘’Awalnya niru-niru tetangga yang pakai ban bekas. Karena saya rasa bisa menghemat, jadi keterusan,’’ aku Marliyah. Menurutnya, memakai ban bekas relatif lebih murah karena untuk membeli kayu bakar pun juga mahal. ”Sudah tak ada kayu bakar gratis. Mencari juga tak mungkin karena tak ada hutan. Kalau ingin pakai kayu bakar ya harus membeli,’’ tukasnya. Sri dan Marliyah berharap pemerintah segera melakukan langkah untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak tanah ini.

Menurut mereka, sebagian besar masyarakat desa masih bertumpu pada minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan dapur mereka. ”Apalagi elpiji, masyarakat desa jelas tak mampu untuk membeli,’’ pungkas Marliyah. Sebenarnya tak hanya mereka berdua yang harus menghela nafas panjang akibat menghilangnya minyak tanah di pasaran. Ribuan masyarakat merasakan hal yang sama. Mereka pun harus menggunakan segala cara agar dapur tetap mengepul.

Di Kediri, masyarakat memburu arang untuk bahan bakar. Selain murah, kualitas pembakaran arang dianggap tidak kalah jauh dengan kompor minyak. Yus Hendrik, pedagang arang di Pasar Bandar Kediri mengatakan, omzet penjualannya melesat setelah harga minyak tanah meroket. ”Kenaikan bahkan bisa 10 kali lipat,”tuturnya. Kondisi yang sama dialami para penjual kayu bakar yang juga menikmati berkah kelangkaan minyak tanah dan elpiji.

Omzet mereka juga mengalami peningkatan meski tidak sebesar arang kayu. Seperti dirasakan Sumini, salah seorang penjual kayu bakar di Kel Ngadirejo,Kec Kota,Kediri, yang mengatakan bahwa penjualannya meningkat drastis dibanding hari- hari biasa. (tritus julan).

Sumber : Koran Sindo Jawa Timur 

4 thoughts on “Kayu Bakar Juga Sulit, Ban Bekas Jadi Andalan

  1. Kalau semakin banyak orang memilih arang, semakin banyak pohon ditebang dong. Penghijauan akibat penggundulan hutan di tahun 1998-an belum pulih, sekarang hutan dibabat lagi. Kapan kita kontribusi terhadap penurunan pemanasan global. Wah, tolong dong cari alternatif lain, selain arang. Kompor biomasa mungkin bisa digalakkan! Semoga.

    Like

  2. Kenapa tidak memakai briket batubara saja ? Kenapa sekarang kok tidak ada gaungnya lagi program ini ya ? Bukannya itu solusi yang paling masuk akal untuk saat ini (dibanding arang, kayu bakar, apalagi ban bekas)?

    Like

  3. Kalau sudah begini, semua jadi serba salah. Ban bekas dibakar tentu polusi. Tapi mau beli gas, tidak punya uang. Mau cari kayu bakar, sudah tidak ada hutan, (sudah gundul semua).

    Kalau mau makan, harus masak, nah masaknya pakai tungku dengan ban bekas sebagai bahan enerji. Jadi ya memang pembangunan ekonomi harus sejalan dengan pembangunan lingkungan. Kemiskinan menjadi jerat perusak lingkungan.

    Like

Leave a comment