Mandok hata, ya gampang, ya susah juga (2)

Kalau mendengar orang lain mandok hata, kita sering kali menyepelekan, seolah-olah itu adalah hal mudah. Tapi ketika gilirannya kita ditunjuk untuk mandok hata, nah, baru kebingungan, cengengesan seperti orang yang tidak tau harus ngapain. Biasanya lalu berkilah, supaya orang lain saja yang mandok hata. Padahal kalau ngobrol ngalor ngidul, berjam-jam pun tidak ada masalah. Kenapa pas mandok hata jadi susah.

Pada suatu “ulaon”, atau kegiatan tertentu, kadangkala kita tak bisa mengelak dari mandok hata, mau tidak mau seseorang terpaksa juga mandok hata. Kalau sudah ditunjuk dan tak bisa mengelak, sambil kebingungan, biasanya kalimatnya jadi singkat-singkat, mandok hata juga singkat,  kemudian belum apa-apa sudah mengakhiri, “Sahat-sahat ni solu, sahat ma tu bontean. Sai horasma hita mangolu, sai sahatma tu panggabean. Botima, hatangki, hata tambaan“. (terjemahan bebas: sesampainya perahu, sampailah ke bontean, semoga kita hidup bahagia, dan sejahtera. Sekian, mohon diteruskan dengan pembicara selanjutnya).

Berbicara di depan orang banyak, memang bukan hal yang mudah, apalagi bila pada acara formal. Mandok hata adalah berbicara secara formal di depan umum. Karena mandok hata memang adalah bagian dari acara formal pada setiap adat Batak. Tidak ada acara adat yang tidak dilengkapi dengan mandok hata. Untuk acara-acara tertentu, adakalanya ditetapkan seorang juru bicara, yaitu apa yang disebut dengan “pande hata” atau “raja parhata“.

Akan tetapi dalam tahapan “marhata sigabe-gabe“, atau dalam acara adat sekeluarga dekat, maka pembicara tidak cukup hanya “pande hata“. Semua orang dalam acara “ulaon”, harus menyampaikan sepatah dua kata yaitu mandok hata. Dalam kondisi itu, adakalanya mandok hata tidak bisa dielakkan, karena seseorang memang berada pada posisi tertentu, apakah sebagai hula-hula, dongan tubu, boru, tulang dan posisi lainnya.

Ada orang yang sangat piawai dalam mandok hata, kalimatnya runtut, bahasanya terjaga dan rapi. Tidak ada kata-kata yang vulgar, dan bisa memilih kosa-kata yang tepat. Sudah itu, selalu dilengkapi dengan “umpasa” (pari’an, bahasa Surabaya nya), sehingga “hata” yang disampaikan terasa cocok dengan konteks acara. Orang yang punya kemampuan seperti itu sering kali didaulat menjadi “pande hata” di kelompoknya. Ada orang yang memang mempunyai talenta yang bagus dalam mandok hata.

Sesungguhnya, mandok hata adalah ketrampilan. Sebagaimana laiknya ketrampilan lain, bila “diasah” dengan sunguh-sungguh, mandok hata juga dapat dikuasai. Sebagai ketrampilan, makin tinggi “jam terbang”, semakin baik pula kemampuan mandok hata. Maka agar handal dalam mandok hata, latihannya biasanya adalah di acara keluarga, yang lingkupnya relatif kecil. Setelah itu semakin lama ke lingkup yang lebih besar.

5 thoughts on “Mandok hata, ya gampang, ya susah juga (2)

  1. Di orang batak, mandok hata lebih ke aktualisasi diri aja kebanyakan, sorry gwe dah suntuk 6 jam di pesta adat, cape, mau pulang gak enak…

    Like

  2. hooiii pembaca..
    kalian jangan terpancing oleh bang togar ini
    dia lagi mempertajam kemampuan untuk jadi pande hata itu
    ya.., caranya: minta masukan dari pembaca
    gak lama lagi, mau pasang tarip jadi pande hata dia itu …
    mangkanya, kalau dia lagi tugas, aku di belakangnya saja untuk membantu “mengamankan” pinggan panungkunan .. ??

    http://rapmengkel.wordpress.com

    Like

  3. Marbakat be do sude ate, boro boro mandok hata di loloan natorop, mambahen komentar/tanggapan saotik pe iba di blog ni dongan nunga marsamburetan.

    Horas jala gabe

    Like

  4. Ada pengalaman konyol sekitar 10 tahun lalu. Oleh seorang pariban yang mau pamuli boru, saya diminta mewakili “dongan sahuta” untuk menyampaikan “ingot-ingot” sewaktu acara marhata sinamot. Jelek-jelek, saya yakin bisa melaksanakan tugas itu, karena sudah beberapa kali mengikuti acara seperti itu.

    Waktu saya berdiri dan sudah pegang piring yang berisi “getep’, seorang bapak, dongan tubu pariban, juga berdiri menghampiri saya lalu “mendikte” saya, apa saja yang harus diucapkan. Hal itu dilakukan tidak berbisik, tapi banyak orang mendengar omongan si bapak tersebut. Terus terang saya merasa tersinggung dengan ucapannya, lalu saya bilang: “Ya sudah lae saja yang menyampaikan ingot-ingot ini”.
    Lalu suhut sihabolonan minta maaf ke saya dan minta meneruskan menyampaikan ingot-ingot.

    ***
    Bah, kalau “juragan” nya Tanobatak saja masih menghindar dari mandok hata, apalagi macam kami yang diparserakan ini.

    Kadangkala, saya tidak bisa menghindar dari mandok hata di Surabaya, jadi ya kepepet aja. Tapi saya biasanya tak pakai umpasa, karena tidak tau.

    Like

  5. Aku pun lae dalam mandok hata ini belum siap. Pernah kutulis dulu apa yg mau kusampaikan, sudah kuhapal tiga hari. PD, ya, saya yakin bisa. Tiba saatnya, ada diantara rombongan berbisik, niatnya memberi tuntunan. Tapi tdk ada dlm skenarioku, akhirnya sy kelimpungan. Suara agak gemuruh, layaknya saya spt sampan kecil ditengah badai. Ditengah kebingungan, sy berteriak kepada pembisik ‘pasip hamu jo’ diam dulu. Suasana tercengang dan senyap, wibawaku bangkit kembali, tugas orator batak pemula akhirnya selesai.
    Itu pengalamanku 15 tahun lalu. Sejak itu saya selalu menghindar mandok hata di acara adat batak. Jauh lebih mudah menjadi pembicara seminar. Molo huingot i 😀

    Like

Leave a comment