Mengejar popularitas murahan ditengah konflik dan persoalan

Sampai Minggu (8/2), jumlah tersangka tragedi Propinsi Tapanuli (Protap) sudah berjumlah 31 orang. Sebagian diantara para tersangka adalah mahasiswa yang dibayar 20 -25 ribu rupiah untuk mengikuti demo. Sebagian lagi merupakan kordinator lapangan demo, dan pemrakarsa Protap. Master mind alias dalang kerusuhan belum ditetapkan. Proses pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka berjalan terus, dan berharap segera bisa mengganjar yang bersalah. Sementara itu pemeriksaan terhadap polisi yang lalai juga masih berlangsung. Selain Kapolda Sumatera Utara dan Kapoltabes Medan yang sudah dicopot, jumlah pejabat polisi yang diskors juga bertambah.

Ditengah proses hukum terhadap para pelaku dan pendukung demo rusuh Protap berlangsung, serta proses administrasi bagi pejabat polisi, proses penyelesaian konfflik dan pro-kontra Protap harus segera diselesaikan dengan baik. Kondisi yang berkembang di Sumatera Utara sekarang ini bisa berkepanjangan bila ada pihak-pihak yang “memancing di air keruh”. Rencana pembentukaan Protap sudah berlangsung bertahun-tahun. Kontroversi pembentukan protap sudah menempuh perjalanan panjang yang akhirnya mencapai antiklimaks yang tidak baik pada 3 Februari lalu. Baik pihak yang pro maupun yang kontra Protap, sudah terbenam memori yang mempertegas perbedaan kedua belah pihak.

Karena itu sangat disayangkan bila dalam beberapa hari ini ada sejumlah pihak yang seolah “memanas-manasi” dan memperruncing kontroversi tersebut. Bahkan ada orang yang seharusnya lebih jernih memberi opini untuk mencari penyelesaian tragedi itu, tapi sebaliknya, yang bersangkutan malahan memberikan opini yang bisa menyulut dan memperluas pertentangan. Sebutlah Budi Rajab, antropolog dan dosen FISIP Unpad Bandung, yang dalam pernyataannya dalam dialog salah satu stasiun TV, menjeneralisir persoalan dan membuat isu semakin melebar. Pernyataan Budi Rajab yang juga ditulisnya di harian Kompas, bisa menyeret persoalan menjadi isu SARA. Opini Budi Rajab itu ini seharusnya tidak keluar dari seorang yang berpredikat “ilmuwan”, dan berasal dari lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi obyektifitas dan keilmuan.

Budaya dan adat Batak, sesungguhnya sangat fleksibel dan mampu bernegosiasi dalam menyelesaikan pertentangan dan perselisihan. Hal itu tercermin dalam proses-proses adat Batak. Tengoklah “Umpasa” Batak yang berbunyi “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibaen na saut”, yang artinya kurang lebih “musyawarah sebagai dasar dari sebuah keputusan”. “Umpasa” dalam adat dan Budaya Batak, bukan hanya sekedar “pantun” atau “parikan” (kata orang Surabaya), “umpasa” adalah nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam adat dan budaya Batak. Selain “umpasa“, masih banyak nilai budaya Batak yang membuktikan kemampuan masyarakat Batak untuk bermasyarakat secara demokratis.

Prinsip “Dalihan Natolu” adalah tradisi demokrasi budaya Batak yang sudah turun temurun sejak dulu. Dalam sistim adat “Dalihan Natolu“, komponen “hula-hula, dongan tubu, dan boru” memiliki kesetaraan komprihensif sesuai fungsi dan tugas masing-masing. Demokrasi dalam “Dalihan Natolu” (Tungku nan Tiga) , memberikan fungsi yang sama pada suatu saat bagi semua komponen yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru, fungsi itu akan dilalui oleh seseorang dalam waktu yang berbeda. Dalam sistim “Dalihan natolu” yang berjalan, tak ada pihak yang tetap pada posisi yang lebih tinggi selamanya. Semua akan merasakan posisi ketiga komponen sebagai hula-hula, kemudian sebagai dongan tubu dan sebagai boru. Sistim demokrasi “Dalihan Na Tolu” melekat dan terinternalisasi dalam struktur adat dan budaya Batak. Sistim seperti itu tidak ditemukan dalam komunitas budaya manapun di Nusantara. Dalihan Na Tolu, adalah kekayaan adat budaya Batak yang tidak ternilai.

Karena itu, sangat berlebihan dan tak bertanggung jawab, ketika Budi Rajab, antropolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, menyimpulkan bahwa kekerasan adalah budaya Batak. Pernyataannya itu dia lontarkan menyikapi demo rusuh di gedung DPRD Sumatera Utara pada 3 Februari 2009. Dari pernyataannya itu, sangat diragukan, pemahaman Budi Rajab tentang budaya Batak yang sesungguhnya. Seseorang seharusnya tidak memberikan opini kepada publik, bila ia tidak memahami persoalan secara baik dan lengkap. Apalagi bila ia dalam kapasitas menyandang predikat sebagai seorang ilmuwan.

Sejatinya, ilmuwan yang berintegritas adalah orang yang memberikan pencerahan kepada masyarakat. Ilmuwan ikut bertanggung jawab mencari solusi terhadap permasalahan, bukan sebaliknya memperruncing persoalan. Ditengah kondisi yang rumit, ilmuwan berfungsi sebagai “katalisator perubahan positif”. Akan tetapi, terkadang ada orang yang mencari “popularitas rendah” dengan memperlebar persoalan. Orang seperti itu beranggapan bahwa konflik dan persoalan masyarakat adalah “laboratorium” tempat ia bereksperimen dan berharap bisa mencari sensasi. Ilmuwan seperti itu tak lebih dari “gelandangan intelektual” yang mencoba mencari panggung tempat ia bisa “menjual diri”.

Disisi lain, media, terutama televisi ikut “mengkondisikan situasi”, sehingga ada “gelandangan intelektual” yang memanfaatkan media untuk mencari popularitas murahan. Media berkompetisi untuk menayangkan eksklusifisme berita dengan “mencari” narasumber yang mau memberikan opini “berbeda”. Stasiun televisi menggelar dialog yang memberikan opini kontroversial untuk mengejar rating. Demi “Rating Yang Maha Kuasa”, berbagai cara ditempuh, dan seolah tak mempedulikan dampak sosial bagi piha-pihak yang terkait. Padahal pihak-pihak yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas dalam dialog televisi, bisa tersulut emosinya oleh pernyataan narasumber yang tidak bertanggung jawab.

5 thoughts on “Mengejar popularitas murahan ditengah konflik dan persoalan

  1. saya rasa siapa pun orangnya jika memberikan pendapat, apalagi menyangkut sesuatu yang sangat sensitif haruslah santun. Tidak peduli akademisi, politisi, praktisi atau gelandangan sekali pun. Tanpa bermaksud memperuncing persoalan, tapi menurut pendapat saya ungkapan dari bapak Budi Rajab memang kurang santun. Karena hal ini berkaitan pada budaya suatu suku ataupun golongan. Sebab beliau secara langsung atau tidak langsung sudah dapat dikatakan mendiskreditkan orang Batak. Padahal jika kita berbicara masalah rusuh, menurut saya lebih sering terjadi kerusuhan di Jakarta, Maluku, Sulawesi, Papua dan lain sebagainya. Apakah harus kita generalisir bahwa semua orang Jakarta, Maluku, Sulawesi adalah orang kasar yang suka membuat keributan. Saya rasa tidak rasional dan pastinya juga sangat tidak adil bagi orang yang tidak terlibat.

    Like

  2. Itu kan pendapat bung Kalau memang anda tidak merasa yah sudah jangan mencak2 sampai menyebut gelandangan..Dari hal tersebut justru saya lebih setuju dengan budi rajab,buktinya anda sampai tersulut seperti apa yang anda tulis..Tulisan anda saya rasa cerminan luapan kekerasan yg dkatakan budi rajab..Renungkan bung,kalau memang anda seorang akademisi yang bukan gelandangan..

    Like

  3. saya sangat mendukung terbentuknya protap ini….

    semoga usaha para teman2 di bonapasoit tidak sia2.

    hidup protap………………..

    silabantio.blogspot.com

    Like

  4. Memang media tugas nya itu koq, memburu berita dan bikin berita trsebut bombastis

    Lihat saja berita Palestina, satu orang Indo yg terjebak disana aja diributin, pdhal di Indo banyak org nggak makan. Payah

    Like

Leave a comment