Sintong Panjaitan, sang prajurit komando (1)

Sintong Panjaitan : Perjalanan Seorang Prajurit Parakomando Buku Sintong Panjaitan yang diluncurkan 11 Maret 2009 memuat penggalan perjalanan karir militernya selama kurang lebih 28 tahun sebagai prajurit. Sejarah menempatkan penugasan Sintong Panjaitan berada pada beberapa kesempatan dimana dia ikut sebagai pelaku sejarah. Sejak lulus sebagai perwira muda dari AMN tahun 1963, ia ditugaskan dibeberapa pos beresiko berat. Sebagai prajurit, ia melaksanakan tugasnya dengan prestasi nyaris tanpa cacat. Dari keberhasilan demi keberhasilan, menjadikan ia terpilih menempati posisi yang kemudian hari menjadikan ia sebagai prajurit profesional yang dikagumi sekaligus disegani. Jabatan dan prestasi yang diperolehnya membuka peluang yang sangat besar untuk meraih posisi tertinggi di militer. Akan tetapi prestasi gemilang sering mempunyai “dua sisi” yang berbeda. Sisi pertama memungkinkan ia menapaki karir tertinggi, sisi kedua, kecemerlangan juga bisa menimbulkan “gangguan” bagi yang tidak menyukainya. Agaknya sisi kedua lah yang menimpa Sintong Panjaitan, sehingga ia terpaksa berhenti ketika karir militernya sedang menanjak.

Buku perjalanan karir Sintong Panjaitan yang ditulis oleh wartawan senior Hendro Subroto, mencatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Buku itu bukan meupakan biografi, bukan pula otobiografi. Agaknya buku itu ditulis berdasarkan catatan Hendro Subroto sendiri, ditambah dengan penjelasan dari Sintong Panjaitan. Buku ini ditulis oleh Hendro Subroto, seorang wartawan perang TVRI, yang dalam berbagai penugasannya sebagai wartawan, sering menyaksikan dan meliput kejadian penting dimana Sintong Panjaitan ikut berperan.

Sebagai buku, apa yang ditulis Hendro Subroto, sebenarnya tidak terlalu istimewa. Beberapa bagian ditulis agak mendetail, tetapi dibagian lain, informasi yang disajikan kurang informatif. Derajat kedetailan antara bagian yang satu dengan bagian lain tidak sama. Bisa jadi Hendro Subroto, sebelum menulis buku, tidak dapat mengumpulkan data secara lengkap. Hal itu bisa difahami, karena untuk mendapatkan data detail dari instansi militer tidaklah mudah.

Secara struktur buku tersebut juga terkesan “memaksakan” eksklusifisme dengan menempatkan kejadian pada bulan Mei 1998 pada Bab-1. Lalu kemudian diikuti dengan bab-2 yang memulai catatan latar belakang kehidupan pribadi Sintong panjaitan sebelum menjadi tentara. Yang terasa lebih mengganggu adalah, banyaknya “salah ketik” yang terjadi terutama pada bab-1. Buku ini semakin lengkap dengan kata pengantar yang sangat berbobot dari Prof. Taufik Abdullah.

Saya mencatat beberapa hal penting dari karir militer Sintong Panjaitan. Catatan ini semata-mata setelah membaca buku tulisan Hendro Subroto.

Sebagai manusia, Sintong Panjaitan, menjalani garis kehidupan yang luar biasa. Perjalanan hidupnya boleh dikata bukanlah “pilihan” dirinya sendiri, ia hanya menjalani seperti air yang mengalir. Ia memang punya kecerdasan yang bagus, ditambah dengan latihan dan bekal kepribadian yang mantap, menjadikan ia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.

Kemanapun ia ditugaskan, ia jalankan sebagai prajurit berdisiplin tinggi. Seberat apapun beban yang diberikan dipundaknya, ia jalankan dengan baik, meski ia juga terkadang tidak habis mengerti mengapa ia diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang tidak lazim. Sebagai tentara, ia tidak pernah menolak tugas bahkan tak pernah mempertanyakan penugasannya. Menurut, “aturan main” tentara, seorang prajurit tak boleh mempertanyakan penugasannya apalagi menolak perintah. Itu adalah tradisi tentara yang harus dipatuhi.

Sebagai anak buah, Sintong tau betul apa yang harus dia lakukan, dia harus tunduk pada tugas dan perintah atasan. Ketika ia ditugaskan untuk memburu pemberontak Kahar Muzakkar, di Sulawesi ia jalankan sesuai perintah. Sintong yang jadi Komandan Peleton bersama Peleton lainnya dari RPKAD mengejar Kahar Muzakkar di hutan dengan medan yang cukup berat. Entah karena kepiawaiannya, atau ditambah faktor keberuntungan, Peleton Sintonglah yang kemudian berhasil membuntuti kahar Muzakkar sampai kejarak yang sangat dekat dan siap untuk menyergap. Sebagai anak buah, Sintong melaporkan posisinya kepada atasannya dan siap untuk menyergap Kahar Muzakkar. Selanjutnya laporan itu diteruskan secara berjenjang kepada Pangdam XIV Hasanudin yang merangkap sebagai Panglima Operasi, Brigjen M. Jusuf. Oleh Panglima, Peleton Sintong diperintahkan untuk mengambil posisi “menutup“, sedangkan “penyergap” ditugaskan kepada unit lain. Padahal Peleton Sintonglah yang “menemukan” persembunyian Kahar Muzakkar. Sintong Panjaitan melaksanakan perintah atasannya, sehingga unit lain lah yang kemudian menyergap dan menembak mati Kahar Muzakkar yang berusaha melarikan diri. (Halaman 89).

Sebagai atasan, Sintong cukup tegas menjalankan setiap tugas. Terhadap anak buah ia luwes tapi juga tidak mau kompromi bilamana diperlukan.

Pada bulan mei tahun 1985, Sintong dihadapkan pada kondisi yang tidak wajar. Ia baru saja menjabat sebagai Komandan Kopasandha yang sebelumnya dijabat oleh Brigjen Wismoyo Arismunadar, rekan seangkatan Sintong di AMN. Kapten Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai Wakil Komandan Datasemen-8 Anti Teror di Kopasandha. Kapten Prabowo seharusnya sudah pindah dari Kopasandha ke Kostrad sesuai Surat Perintah KSAD. SP KSAD dikeluarkan pada saat Wismoyo masih menjabat Komandan Kopasandha, tapi SP KSAD itu tidak terlaksana. Ketika Sintong dilapori masalah itu, lalu ia memerintahkan Asisten Personil agar segera menindak lanjuti SP KSAD dengan mengeluarkan Surat Perintah dari Komandan Kopasandha yang ditanda tangani oleh Sintong Panjaitan.

Karena surat Komandan Kopasandha tersebut, Kapten Prabowo tidak terima, dan ia mempertanyakan pemindahannya dan meminta untuk menghadap Sintong Panjaitan sebagai Komandan Kopasandha. Dalam tradisi tentara terutama Kopasandha, tidak pernah seorang bawahan mempertanyakan penugasannya. Kalaupun itu harus dilakukan, maka paling-paling bertanya kepada atasan langsungnya. Pada waktu itu atasan langsung kapten Prabowo adalah Komandan Datasemen Antiteror, Mayor Luhut Pandjaitan, sementara Sintong Panjaitan sebagai Komandan Kopasandha berada tiga tingkat diatas Prabowo. Tapi Prabowo, memaksa untuk bertemu Sintong. Sintong sebenarnya tidak ingin menerima Prabowo untuk kasus pemindahan Prabowo, tapi akhirnya ia mau juga menerima Prabowo. (Agaknya Sintong “terpengaruh” juga dengan posisi Prabowo sebagai menantu Presiden Soeharto)

Dalam pertemuan itu, Sintong Panjaitan menegaskan bahwa sebagai tentara Sintong tidak melihat apakah Prabowo sebagai anak siapa, dan sebagai tentara Prabowo harus tunduk pada perintah meskipun ia menantu Presiden Soeharto. Dalam pemindahan Prabowo, Sintong tidak tau latar belakangnya. Ia menindak lanjuti SP KSAD. Menurut Sintong, sejak pertemuan itu, hubungannya dengan Prabowo Subianto terputus. (Halaman 319-320)

BERSAMBUNG …..

6 thoughts on “Sintong Panjaitan, sang prajurit komando (1)

  1. Prajurit yg cerdas akan perpedoman terhadap Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan Wajib TNI

    Like

  2. waktu kemarin pd saat acara bona taon panjaitan talenta 2009 yg diselenggerakan di lapangan tennis indoor kog g ada tuch comunity marga panjaitan apa saya emank g dengar yachh.tlg donk dikirimin alamat nya ke email berti jay ????alamt email nya nichh berti.pb77@yahoo.com

    Like

  3. horas …
    saya sbg marga panjaitan hanya satu kata yg bs saya sampaikan yakni salut buat marga panjaitan yg selalu eksis dalam meniti karir maupun tugas tp saya mau tanya nich….. apa msh ada g comunity buat marga panjaitan yg msh aktif saat ini?

    Like

  4. Pingback: Sintong Panjaitan, sang prajurit komando (2) « Kaki-Lima

  5. Horass!!!!

    sangat menarik dan penting untuk membaca buku tersebut, sayangnya saya agak susah untuk membeli di sini (USA), kira-kira ada dari teman-teman pembaca bisa memberikan informasi. Untuk lanjutannya, kapan akan dimuat pak togar?..

    Like

Leave a comment