Dos do nakkokna dohot tuatna

Salah satu prinsip kemasyarakatan yang universal diterima adalah keseimbangan dalam arti luas. Begitu juga dalam adat Batak. Kalau ada “memberi”, maka biasanya, juga akan ada “menerima”. Walau yang diterima, bentuk dan besarannya tidak harus sama atau senilai dengan apa yang diberi. Tapi prinsip itu secara umum berlaku. Hal itu pula sebabnya ada “pepatah”: “Dos do nakkokna dohot tuatna”, yang artinya kurang lebih “Adalah setara ketika naik dan ketika turun“.

Prinsip keseimbangan universal itu, berlaku untuk banyak aspek, termasuk dalam hubungan kemasyarakatan dan adat Batak. Ketika dalam suatu proses terjadi ketimpangan, maka secara umum dapat dikatakan proses itu belum seimbang, alias belum lengkap. Prinsip keseimbangan ini menjadi latar belakang yang saya ungkap pada kejadian yang kami hadapi beberapa waktu lalu.

Seorang kerabat “parboruon” menelpon saya, bahwa salah seorang kerabat kami yang lain, bermaksud mengadakan acara syukuran atas promosi dan dan posisi baru yang diperolehnya. (saya menyamarkan marganya dan posisinya untuk alasan etika). Tentu saja saya sambut gembira usulan mengadakan syukuran itu. Lalu “parboruon” ini meminta pendapat saya, bagaimana kalau nanti pada acara syukuran itu kami (saya dan dongan tubu Silaban di Surabaya) memberi “ulos holong” kepada kerabat yang mendapatkan promosi itu.

Sebelum saya menjawab, saya balik bertanya:
“Apakah memang acara syukuran itu dikemas secara adat Batak?”.
“Tidak”, jawab si parboruon. “Acaranya nanti cuma kebaktian dan makan bersama”.
“Kalau tidak dikemas dalam adat, bagaimana caranya memberi ulos”, tanya saya lagi.
“Iya itulah ito, si S#*@&$ (menyebut nama yang mendapat promosi), tidak menginginkan acara adat, tapi kayaknya dia kepingin diulosi”.
“Katanya hula-hulanya si S#*@&$ dan kerabatnya yang lain akan “mangulosi” juga, makanya saya tanya pendapat ito, apakah “horong” ito juga akan mangulosi”, lanjutnya lagi.
“Bagi saya mangulosi itu tidak masalah, asal pada acara yang tepat”, saya menjawab.
“Lha terus gimana dong acara si S#*@&;$ ini ito”?.
“Nantilah saya rundingin dulu dengan dongan tubu yang lain”, kata saya.

Besoknya, saya menelpon Ketua punguan, menceritakan pembicaraan telpon itu. Rupanya Ketua, juga sudah dihubungi terkait rencana acara syukuran promosi itu. Ketua berbalik menanya pendapat saya. Saya berpendapat, bahwa pada acara syukuran seperti itu kurang pas memberi ulos. Sebab tidak ada acara “pasahat na margoar“, atau “dekke sitio-tio“, tapi “suhut” menginginkan ada pemberian ulos kepada “suhut”. Saya katakan bahwa pemberian ulos itu tidak tepat waktunya.

Selang dua hari kemudian, saya mendapat undangan untuk menghadiri acara syukuran itu. Akhirnya saya pun hadir pada hari yang ditentukan. Acara terlambat dimulai dari jadwal dalam undangan. Acara dimulai dengan kebaktian singkat, lalu dilanjutkan dengan makan bersama. Pada waktu makan, saya menanyai Ketua, tentang rencana pemberian ulos. Ketua menjawab, bahwa dongan tubu sudah menyiapkan ulos. Saya diam saja, tidak berkomentar lagi.

Benar saja, ada dua rombongan yang kemudian memberi ulos. Kemudian pembawa acara memanggil marga kami Silaban, untuk memberi sambutan. Kami semua Silaban dan Boru & Bere yang hadir diminta untuk berdiri di depan panggung. Cilakanya semua dongan tubu dan boru meminta saya untuk memberi sambutan. Boru kami dan dongan tubu masing-masing sudah menyiapkan ulos. Saya akhirnya memberi sambutan singkat, sambil mengucapkan selamat atas promosi, lalu mempersilahkan boru kami untuk lebih dulu memberikan ulos. Kemudian kami “namardongan tubu” memberikan ulos yang sudah disiapkan.

Saya beranggapan, pemberian ulos itu tidak tepat, karena tidak pada acara yang semestinya.

3 thoughts on “Dos do nakkokna dohot tuatna

  1. Alai sipata dang tarjua, prinsip awal kadang harus berobah dengan pelaksanaannya, karena demokrasi dan suara terbanyak…ba songon ni dok ni umpama nama “Suhar bulu disarat dongan, ba ingkon suhar do i saraton”

    Like

  2. Di kantor ada aturannya, di rumah ada aturannya, dan di adat pun ada aturannya.
    Menurut saya, kalau acara promosi itu tidak di kemas dengan adat batak, tidak mengurangi makna holong masihaholongan. tapi kalau itu di kemas dalam adat batak, mari kita lakukan secara adat batak. jangan di campur aduk. jadi kalau adat Batak ada aturan “dos do nangkokna dohot tuatna” mestinya dilakukan seperti itu.

    Like

  3. saya sendiri kurang mengerti betul mengenai paradaton lae..
    beberapa hari yang lalu saya menghadiri resepsi pernikahan seorang boru batak dengan non batak.
    karena kebetulan disini tidak ada family/saudara akhirnya kami dari punguan yang ada disini diajak untuk mandongani orang tua si pengantin perempuan di acara itu. kebetulan rupanya ortu si perempuan bermaksud menyerahkan ulos kepada kedua mempelai, kami pun menganggap itu hanyalah sebagai ulos holong saja, tidak lain dan tidak bukan. namun ternyata pada saat pasahat ulos orang tua si pengating juga menyerahkan sarung/mandar kepada helanya, seperti yang terjadi pada saat pasahat ulos hel di ulaon adat. saya jadi bingung…apa yang harus saya ucapkan karena kebetulan saya yang memandu acara pasahat ulos holong tadi…apalagi ditambah dengan dari pihak orang tua pengantin boru ini juga pasahathon ulos ke ortu pengantin pria, kepada saudaranya dan kepada paman dari si pengantin pria…walah..koq jadi tambah marganjang begini yah…akhirnya, untuk menghindari mis-perseption diantara undangan halak batak yang kebetulan hadir saya tetap menyebut semua ulos tsb adalah ulos holong…
    bener gak tuh kira2 lae..??

    Like

Leave a comment