Makna bertanya pada “pinggan panungkunan”

Untuk kedua kalinya, saya “dipaksa” menjadi “parsinabung” alias juru bicara adat pada pernikahan antara boru Silaban dengan marga Simanjuntak. Saya berusaha menghindar menjadi “parsinabung“, karena masih merasa tak mampu menjalankan tugas itu. Tapi bagaimana lagi, kalau Pdt. David Silaban sudah memaksa, ini tugas adat, dan harus diselesaikan, tak ada pilihan lain.

Maka saya coba buat persiapan dengan membaca literatur yang ada. Saya juga berusaha konsultasi dengan yang saya anggap lebih mengetahui tentang adat Batak. Tidak lupa saya persiapkan catatan semua kalimat-kalimat penting dalam pembicaraan adat “marhata sinamot” dan waktu acara adat “unjuk“. Malahan saya siapkan kalimat-kalimat utama dan “umpasa” dari proses “pembicaraan adat” yaitu “marhata”.

Sebelum tiba acara “marhata sinamot“, saya menemui “parsinabung” dari pihak paranak, marga Simanjuntak. Terus terang, saya agak “keder” juga, sebab saya menduga kemungkinan “parsinabung” dari pihak Simanjuntak, bisa-bisa “parsinabung” yang sudah piawai. Mengingat bahwa secara statistik jumlah populasi marga Simanjuntak di Surabaya sangat banyak. Pikir saya, tentu pihak Simanjuntak akan memilih “parsinabung” yang sudah kenyang “asam garam” adat Batak.

Ternyata, “parsinabung” pihak Simanjuntak juga termasuk pemula seperti saya. Maka saya jelaskan bahwa saya masih pemula, dan mohon pengertian, kalau-kalau nantinya ada yang tidak pas atau keliru dalam pembicaraan adat. Pihak Simanjuntak dapat memaklumi kondisi saya, karena itu saya agak tenang.

Singkat cerita, proses pembicaraan adat dalam adat “marhata sinamot” dan pada adat “unjuk” bisa berlangsung, meski ada kadang-kadang kalimat yang terputus-putus. Maklumlah, saya harus “membaca” dari catatan untuk kalimat-kalimat adat.

Meski begitu, saya masih agak bingung, karena banyak bagian-bagian yang tidak saya fahami makna dari prosesi pembicaraan adat tersebut. Saya menjalankan urutan proses adat, tapi tidak memahami makna yang sebenarnya dari proses itu. Dalam kedua acara “marhata sinamot” dan “unjuk“, maupun adat yang lain, pembicaraan adat Batak selalu didahului dengan memberikan “pinggan panungkunan” (piring penanya ?).

Sampai saat ini, saya masih belum memahami apa makna dari “pinggan panungkunan“. Mengapa harus menggunakan piring yang diatasnya terdapat daun sirih, beras, uang dan potongan daging.

Kurang lebih kalimat pembuka pada “pinggan panungkunan” dilakukan dengan kalimat seperti dibawah ini:

    Nunga dison nuaeng pinggan si tio soara na hot di hundulanna, sai tio ma tutu parnidaan ta tujoloan on, jala hot ma pasu-pasu sian Tuhanta.
    Peak diatas na, napuran si rata bulung, sai rata ma antong pansamotan dohot parhorason dihita di joloan on.
    Dison adong do parbue santi, si pir ni tondi, anggiat ma antong sakti madingin sakti matogu angka sude pomparanta.
    Laos adong do ringgit na marmata, tinongos ni negaranta, sipalas roha ni natorop dohot amanta raja. Sai martamba ma antong las ni rohanta tujoloanon.
    Songoni muse adong do juhut tanggo-tanggo, songon simbol ni hatanggo on dohot hatoguon ni partuturan ta, na marhula na marboru, gabe parhorasan tujoloanon.

Terjemahan bebas (suka-suka) kira-kira berarti seperti berikut:

    Disini tersedia piring yang mempunyai suara terang/nyaring, yang terletak kukuh ditempatnya, semoga penglihatan kita semakin terang, dan kita mendapat berkat dari Tuhan.
    Diatas piring terdapat dauh sirih yang hijau, semoga mata pencaharian kita semakin baik, dan kita mendapat kebahagiaan di masa datang.
    Diatas piring terdapat juga beras (si pir ni tondi), semoga keturunan kita seamkin kuat dan semakin kukuh.
    Terdapat juga sejumlah uang, yang diberi dari negara kita, yang menjadi pelengkap kegembiraan semua orang. Semoga kegembiraan semakin bertambah-tambah dimasa depan.
    Dan juga terdapat potongan daging, sebagai simbol kekuatan dan keteguhan kekeluargaan/persaudaraan kita. Semoga semakin baik dan bahagia dimasa depan.

Tentu saja kalimat dalam bahasa batak diatas, tidak bisa diterjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia. Saya yakin ada makna dari masing-masing komponen dalam “pinggan panungkunan”, yaitu daun sirih, beras, uang dan potongan daging. Komponen itu mencerminkan nilai-nilai (values) tertentu dalam adat Batak. Saya harus mencari tau apa makna masing-masing. Kalau tidak, saya hanya akan seperti robot yang mengerjakan sesuatu, tanpa memahami makna sesuatu yang saya kerjakan.
Masih banyak yang harus dipelajari.

Catatan:
pinggan panungkunan = piring penanya
marhata sinamot = membicarakan mahar atau mas kawin
adat unjuk = adat pada pesta pernikahan

5 thoughts on “Makna bertanya pada “pinggan panungkunan”

  1. wah kalau sudah ke generasi saya udah semakin gak ngerti nih arti ni “pinggan panukkunan “.. untunglah ada bang tigor yang mengulasnya.
    Mauliate ma abang.

    Like

  2. Pak Togar Silaban,
    Sedikit tanggapan dari saya tentang makna dari pinggan panungkunan.

    Ada dua arti dari kata panungkunan:

    A. Panungkunan dalam prasa pinggan panungkunan, adalah segala sesuatu yang yang diharapkan akan menjadi bagian dari pihak parboru dari saat menikahkan putrinya dan berlanjut ke hari kemudian.

    Apakah itu?
    Mari kita lihat kalimat kalimat yang diucapkan oleh parsinabung dari pihak parboru tadi:

    1. Nunga dison nuaeng pinggan si tio soara na hot di hundulanna, sai tio ma tutu parnidaan ta tujoloan on, jala hot ma pasu-pasu sian Tuhanta.
    >Diharapkan pandangan (cara berfikir) semakin jernih, agar memikirkan keadialan bukan hanya keadilan sosial, tetapi keadilan yang komplit yaitu keadilan ekosospolbudpen, dan berkat-berkat Tuhan diharapkan semakin pasti di hari mendatang.

    2. Peak diatas na, napuran si rata bulung, sai rata ma antong pansamotan dohot parhorason dihita di joloan on.
    >Mata pencaharian (jampalan na lomak) diharapkan semakin hijau/bagus, dan sehat-sehat selalu. Sehat sumbernya bukan dari korupsi, sehat menikmatinya. Bisa ikut adat, bisa melancong, bisa menikmati kecanggihan teknologi, bisa sekolahkan anak tinggi tinggi, dan sehat walafiat selalu.

    3. Dison adong do parbue santi, si pir ni tondi, anggiat ma antong sakti madingin sakti matogu angka sude pomparanta.
    >Diharapkan keturunannya akan memiliki roh yang kokoh. Seperti tertulis dalam Mazmur 51:10; Jadikanlah hatiku tahir, ya Tuhan, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!

    4. Laos adong do ringgit na marmata, tinongos ni negaranta, sipalas roha ni natorop dohot amanta raja. Sai martamba ma antong las ni rohanta tujoloanon.
    >Hendaklah uang yang dimiliki akan melengkapi kebahagiaan, jangan malah dikejar bayangan.

    5. Songoni muse adong do juhut tanggo-tanggo, songon simbol ni hatanggo on dohot hatoguon ni partuturan ta, na marhula na marboru, gabe parhorasan tujoloanon.
    >Diharapkan hubungan kekeluargaan akan semakin teguh dan erat baik dalam rumahtangga maupun bermasyarakat dan berdalihan natolu.

    Mengapa harus menggunakan piring yang diatasnya terdapat daun sirih, beras, uang dan potongan daging.
    >Supaya keseluruhan berkat yang diharapkan yang dilambangkan oleh daun sirih, beras, uang, dan potongan daging, berada ditempat yang nyaring bunyinya bukan karena kosong seperti tong, tetapi karena berisi; dan kokoh pada tempatnya, tak tergulingkan oleh perbuatan curang.

    Jadi, pinggan panungkunan adalah pinggan tempat berkat berkat yang diharapkan menjadi bagian mereka dari saat itu hingga hari kemudian.

    B. Panungkunan yang kata dasarnya dari Sungkun.
    Panungkunan = yang ditanya atau tempat bertanya, bukan penanya.

    Terimakasih.

    NB. Bah, nunga gumanjang komentar on sian postingan, Lae. Hahaha.

    Like

  3. mauliate di ompung, na gabe parsinabung di ulaon pamasumasuon ni borunta. Nang pe sibuk ompung di ulaon pemerintahan alai tontong dope disangahon ompung na gabe parsinabung di ulaonta. Puji Tuhan denggan do ulaonta i.

    Like

Leave a comment