Peluru tajam merobek jantung ibu dan anak, Sumiarsih dan Sugeng.

Berakhir sudah perjalanan panjang kehidupan ibu dan anak, Sumiarsih dan Sugeng. Kedua terpidana mati itu akhirnya menghadapi “tim pencabut nyawa”, regu tembak Brimob, Sabtu dinihari 19 Juli 2008 jam 00.20 di satu lapangan terbuka, kawasan Surabaya. Menurut pihak kejaksaan negeri Surabaya, pelaksanaan eksekusi hukuman mati Sumiarsih dan Sugeng berjalan lancar.

Regu tembak dari jarak kurang dari 20 meter membidik tepat jantung Sumiarsih. Tak sampai hitungan menit, nyawa perempuan berusia 60 tahunan itu langsung putus. Tim medis kemudian membawa jenazah Sumiarsih ke rumah sakit DR. Sutomo Surabaya untuk diotopsi.

Pada saat yang bersamaan, terpisah 20 meter dari ibunya, Sugeng anak Sumiarsih, ditembak di dada oleh 12 orang “tim pencabut nyawa” dari kepolisian. Seperti halnya ibunya, Sugeng menghembuskan nafas terakhir setelah peluru tajam regu Brimob menembus jantung laki-laki itu. Tidak sempat mengerang atau mengeluh, nyawanya langsung putus, kepala yang ditutupi kain hitam itu terkulai. Hidup Sugeng berakhir sudah.

Jam 00.45 kedua jenazah tiba di RS. Dr. Sutomo Surabaya, dimana tim otopsi dan peti mati sudah siap. Selang beberapa jam, dengan mengelabui beberapa wartawan menggunakan 4 buah ambulan, jenazah dibawa ke Malang. Dua ambulan ternyata berisi peti mati kosong.

Setelah menjalani kurungan badan selama hampir 20 tahun, ibu dan anak akhirnya di hadapkan ke regu tembak. Banyak orang tak habis pikir, mengapa sedemikian lama proses pelaksanaan hukuman itu. Selama 20 tahun menunggu putusan akhir sambil menjalani kurungan, adalah suatu penantian yang amat panjang. Kalau toh harus ditembak mati, mengapa harus menunggu selama 20 tahun. Sedemikian rumitkah proses pelaksanaan hukuman mati sehingga membutuhkan waktu 20 tahun untuk selesai. Ada yang mengatakan, bahwa Sumiarsih dan Sugeng menjalani dua hukuman, yaitu hukuman penjara 20 tahun dan hukuman mati.

Sumiarsih dan anaknya Sugeng dihukum mati karena terbukti merencanakan pembunuhan keluarga Letkol Purwanto, Agustus 1988. Pembunuhan itu direncanakan dan dilaksanakan sekeluarga yang terdiri dari Prayit, suami Sumiarsih, Sugeng, Adi Saputro (menantu Sumiarsih). Prayit juga dihukum mati, tapi sebelum dieksekusi, ia sudah keburu mati di LP karena sakit. Adapun Adi Saputro, telah menjalani eksekusi mati terlebih dahulu.

11 thoughts on “Peluru tajam merobek jantung ibu dan anak, Sumiarsih dan Sugeng.

  1. Hukuman mati sebenarnya juga berlaku kepada orang yang korupsi,sebenarnya kalo ditelusuri berapa korban rakyat yang menderita bahkan mungkin mati kelaparan

    buat undang-undangnya.contoh:

    1.koropsi 50juta>1miliar hukumannya seumur hidup

    2.koropsi 1miliar>trilyun nan rupiah hukumanya Mati

    Like

  2. Sumiarsih beruntung, masih sempat bertobat sebelum dieksekusi mati. Kalau diikuti pemberitaan di media, dengan pertobatan itu, dia sudah siap mental dihukum mati.

    Pembeberan di “Mami Rose” dibuat setelah Sumiarsih bertobat. Dia sudah tidak punya kepentingan membela diri, tidak ada keperluan menyalahkan orang lain. Karena hukuman matinya sudah jelas. Untuk apa lagi dia ngarang cerita. Setelah dia bertobat, lihatlah kehidupannya di penjara. Itu suatu kesaksian.

    Hakim Agung Yang Maha Adil yang menentukan, siapa salah dan siapa yang benar.

    Like

  3. saya sudah baca buku ‘Mami Rose’ hampir sama dengan kisah yang ditulis di Jawa Pos. Namun, lebih detail dan ada tamabahan foto-foto.

    hm, memang tidak ada yang tahu mana yang benar, mana yang salah. tapi, yang saya yakini, sumiarsih sudah bertobat dan biarkan Hakim Agung yang Maha Kuasa yang menentukan dan mengadili selanjutnya 🙂

    Salam kenal, aniwe

    Like

  4. Bukunya sudah terbit. Cuma saya belum baca. Kalau tidak salah baru Kamis kemarin dirilis ke pasar. Resensinya sudah muncul di Jawa Pos hari Minggu.

    Cerita lengkap background Sumiarsih ada di buku yang berjudul Mami Rose. Katanya sudah ada di toko buku.

    Like

  5. bang Togar Silaban, certia (pemerasan) itu kan belum bisa diyakini kebenarannya, kalau dipersidangan orang boleh katakan apa saja, apalagi diluar persidangan kepada sejumlah media massa misalnya. Karena yang di anggap pengakuan yang ada dalam sidang saja. Diluar persidangan oleh boleh ngomong apa saja sesuka hati.

    Pada akhirnya yang menentukan benar atau salah adalah majelis Hakim. Kalau ada hal semacam (pemerasan) itu kenapa pada saat itu tak dilaporkan ke polisi atau POM AL misalnya? Masih banyak cara lain, masih banyak kemungkinan lain. Toh kalau takut melaporkan perbuatan sang Letkol karena memeras pasti ada yang salah terhadap pelaku, lah kalau salah ya tanggung resiko dong.

    Wong ternyata sang Letkol juga di duga PKI kok!

    Like

    • Bung Londoner….Mana ada pemerasan bisa dibuktikan hitam putih…Pemalakan yang dilakukan preman jalanan saja nggak bisa dibuktikan, lalu dengan terpaksa beberapa warga nekat membunuh si preman… siapa yang bakal masuk bui…?? Soal laporan… Ngelaporin calo saja susah..lha ini disuruh ngelaporin perwira piye tho…?

      Like

  6. Saya pikir suatu kejadian memang ada “sebab akibat”. Kalau sampai Sumiarsih, memutuskan akan membunuh letkol Purwanto, tentu ada suatu alasan, mengingat membunuh tentara berpangkat letkol bukanlah hal yang mudah.

    Kejadiannya memang sudah 20 tahun lalu, kalau memperhatikan beberapa tulisan di berbagai media, Sumiarsih cs nekat merencanakan pembunuhan itu karena sudah tidak tahan, akan kewajiban “setor” sebesar lebih dari 20 juta per bulan. Angka itu malah meningkat terus karena ditambah “bunga”. Konon yang membuat Sumiarsih tambah stres adalah karena Purwanto minta “bonus” untuk “mencicipi” anak kandung Sumiarsih, yaitu Mei Wati.

    Meski Sumiarsih seorang germo PSK, tapi kalau diminta untuk memberikan anak kandung sendiri, tentu menjadi beban mental yang luar biasa. Bagaimana caranya membebaskan diri dari tekanan mental seperti itu.

    Buku kisah Sumiarsih akan segera terbit, konon cerita lengkap tentang kehidupannya dan bisnis esek-eseknya akan dibeber di buku itu.

    Like

  7. meringkas ulasan tentang “kisah hidup ‘mami Rose’ Sumiarsih menuju eksekusi mati (harian jawa Pos edisi 19-23 Juli 2008), kita dapat mengerti bagaimana kisah yang melatarbelakangi hancurnya dua keluarga (keluarga Ibu Sumiarsih dan pak purwanto). dapat dipahami juga bahwa pembunuhan berencana yang dilakukan keluarga sumiarsih adalah sebuah bentuk mempertahankan diri dari sebuah tekanan yang semena-mena dan tidak semestinya. dapat dipahami pula bagaimana Serda Adi Saputro (menantu Ibu sumiarsih yang juga anggota POLRI) terlibat dalam pelaksanaan pembunuhan, juga sebuah bentuk mempertahankan keutuhan keluarga dari sebuah gangguan. dapat pula dipahami bagaimana kegigihan Wati (Putri kandung ‘Mbah Sih’) memperjuangkan ibunya untuk bebas dari regu tembak. Mungkin dalam benak pemikirannya, pembunuhan dilakukan ibunya adalah untuk menjaga keamanan seorang anak dari gangguan orang lain.
    yang pasti, dua keluarga telah hancur, binasa, porak-poranda hanya karena kita hidup hanya untuk memenuhi nafsu dunia. menghalalkan cara untuk mencapai keinginan. memperlakukan kekuatan, kekuasaan, keahlian, dan kelebihan dengan tidak semestinya. kekuatan yang semestinya digunakan untuk melindungi digunakan untuk menakuti dan mengancam, kelebihan diri digunakan hanya untuk memenuhi nafsu pribadi.
    karma telah membawa mereka pada kematian tidak sewajarnya. sedikit yang dapat diambil hikmah ‘hiduplah dengan sewajarnya’………………….

    Like

  8. yang mroses masuk neraka yang di hukum masuk surga , yang jadi korban pembunuhan juga masuk surga, amien

    Like

  9. berhentilah membunuh.

    kekerasan cuma berhenti jika dibalas dengan cinta.

    Like

Leave a comment