Benarkah Batak perantau lebih santun dari yang tinggal di Bona Pasogit ?

Seorang kawan meng-“update” statusnya di situs komunitas facebook, dan menuliskan pendapat seorang kawan lainnya, Bonar Siahaan (BS), yang selama ini menetap di “bona pasogit” Balige. Menurut kawan BS, warga Batak di “parserahan” (perantauan) seperti di Jakarta, katanya lebih terbuka, dan lebih “maradat” ketimbang warga Batak di kampung halaman (di bona pasogit).

Suhunan Situmorang menulis: Dari Balige, Pak Bonar Siahaan, dng antusias berkata via telepon: “Aku katakan pd kerabat dan teman-temanku, orang-orang Batak yg ramah, sopan, rendah hati, peduli, paradat, kutemukan di Jakarta. Sementara di Bona pasogit ini sudah susah menemukan jenis manusia Batak seperti itu…” **Aku mendengarnya dng perasaan senang dan prihatin…**” (Suhunan Situmorang FB, 9 Juni 2009)

Pendapat kawan BS, mungkin adalah hasil pengamatannya secara pribadi, tapi boleh jadi itu merupakan cerminan dari keadaan masyarakat Batak yang sesungguhnya. Untuk membuktikan benar atau tidaknya kesimpulan kawan BS, diperlukan penelitian sosiologis, atau setidaknya suatu survey (Tapi lembaga survey mana yang mau melakukan itu, kalau lembaga survey lebih tertarik mensurvey pilpres, karena ada yang bayarin).

Masyarakat Batak di perantauan, apakah di Jawa, atau di bagian Indonesia lainnya, atau bahkan di belahan dunia lainnya, berinteraksi dengan pelbagai masyarakat dan budaya yang sangat berbeda dengan budaya dan kebiasaan orang Batak. Hasil dari interaksi itu bisa bervariasi untuk masing-masing individu. Ada yang beradaptasi dengan budaya lainnya dan menjadi orang Batak yang santun, peduli seperti yang di katakan pak BS. Tapi ada juga orang Batak yang tidak terpengaruh dengan karakter dan budaya masyarakat lainnya.

Saya sendiri sering kali bertemu dengan orang Batak yang gaya bertutur sapa dan perilakunya sangat santun dan ramah seperti tak ada bedanya dengan orang Jawa dari Solo. Tapi masih banyak juga individu-individu Batak di perantauan, yang memberikan kesan “keras” dan tidak sabaran. Beberapa hari lalu seorang pengacara putra Batak, dengan gaya yang khas membeberkan hasil kerjanya membela Manohara di depan televisi. Si pengacara, Hotman Paris Hutapea, menunjukkan karakter nya yang khas, meledak-ledak (emangnya mercon !!) dan “marah-marah”.

Pertemuan, dan “benturan” budaya Batak dengan budaya lainnya, sejatinya akan memperkaya budaya Batak. Pribadi-pribadi Batak yang mampu mengambil hikmah dari “benturan budaya“, akan menjadikan dirinya sosok yang lebih toleran, lebih assertive, lebih santun, meski tanpa kehilangan budaya Batak itu sendiri. Orang-orang yang seperti ini (menurut istilah Robert Manurung : Batak Keren), niscaya akan menjadi pribadi yang dapat “masuk” ke kelompok masyarakat manapun. Mereka ada dimana-mana, walau tak kemana-mana (alias tetap menjadi pribadi Batak).

Akan halnya pribadi-pribadi yang tinggal di Bona Pasogit (kampung halaman), yang menurut Pak BS, justru masih agak kurang pedulian, hal itu mungkin saja betul. Masyarakat Batak yang tinggal di bona pasogit, masih homogen, sangat sedikit berinteraksi dengan masyarakat dan budaya lain. Dalam kondisi demikian, egoisme individu dan kelompok bisa jadi masih tinggi.

Di kalangan masyarakat dan adat Batak, ada anggapan bahwa semua orang Batak adalah “Anak ni Raja“. Dalam konteks adat Batak, dengan prinsip dan struktur adat Dalihan Natolu, seseorang mempunyai hak dan derajat yang sama dengan orang lain. Pada struktur adat Dalihan Natolu, tak ada pihak yang lebih tinggi dari yang lain. Pada akhirnya seseorang akan mengalami posisi yang sama dalam adat.

Dalam pembicaraan-pembicaraan adat, orang Batak selalu menyapa pihak lain dengan kalimat: “Raja nami“. Artinya, selalu menganggap pihak lain sebagai raja, dan diposisikan pada tempat yang tinggi. Meski kepada pihak “boru”, selalu disapa dengan “Raja ni parboruon nami“.

Pemahaman sempit dari posisi “Anak ni Raja“, boleh jadi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai tak mau mengalah, dan harus dihormati secara total. Padahal, kalau dicermati lebih dalam, posisi “Anak ni Raja” dan “Raja nami”, adalah manifestasi dari penghargaan seseorang terhadap pihak lain. Posisi “Raja nami” bukanlah berarti mempunyai kekuasaan (power). Kalau dalam adat Batak, ada pihak yang dianggap sebagai “Raja“, hal itu bukan dalam pengertian otoritas dan kekuasaan. Bila ada yang mengartikan demikian, maka itu sudah jauh salah kaprah dan kebablasan.

Pemahaman terhadap penghargaan inilah yang barangkali mulai terkikis seperti sinyalemen pak BS.Walau bagaimanapun, masyarakat Batak bukanlah masyarakat yang tertutup terhadap perubahan dan perkembangan. Waktu akan sangat mempengaruhi kultur dan kebiasaan orang Batak.
Horas Batak Keren.

7 thoughts on “Benarkah Batak perantau lebih santun dari yang tinggal di Bona Pasogit ?

  1. Saya sangat sedih Namun yang paling sedih adalah opung-opung yang dari Batu Hobon. kira2 sudah 4 bulan tulisan saya dengan Judul KEBENARAN BATU HOBON, PERNYATAAN NYI RORO KIDUL DAN ORANG-ORANG NINIWE namun tak satupun marga-marga poporan dari batu Hobon yang peduli.

    Mengapa???????????????
    Apakah Iblis benar-benar sudah menguasai kamu semua????????????????
    Kamu Bangga dengan Leluhur kamu yang terkenal sakti mandraguna tapi tak peduli kalau makamnya dirusak orang??????????
    Ya.. memang marga-marga sebagian besar naimarata pasaribu, limbong, sitorus dlll yang merusak dan mencuri di Batu hobon.

    Saya seorang pemuda asli Batak yang bukan marga tersebut sangat peduli, mengapa kamu semua tidak peduli???

    Tugas Saya menyatakan kebenaran dan menyadarkan manusia dari penyembahan berhala, baik melalui roh-roh leluhur ataupun Roh-Roh Kudus.
    Bukankah TUHAN YESUS tegas melarang hal tersebut. kalau kebenaran sudah diungkap, terserah manusia memilih jalannya.

    Buktikan langsung. Pergilah ke Pusuk Buhit, Lihat dan pegang sendiri itu memang Semen Kasar yang tidak dilicin.

    Batu Hobon yang asli adalah batu gunung berwarna Hitam sebesar gendongan tangan orang Dewasa.
    di bawah nya terdapat sebuah Goa yang merupakan makam leluhur orang batak.

    Mengenai keberadaannya dan beberapa pusaka yang dulu ada disana, ada pada manusia yang MERENOVASI BATU HOBON TAHUN 1986.

    Kalau Menurut saudara Yang ada Sekarang Hanya Simbol, itu tidak benar, tetapi suatu hal yang memalukan.

    Sadarkah saudara Jika Simbol itu telah salah maka yang berada dibawah simbol itu, yaitu orang-orang batak juga salah.

    Sadarkah saudara dengan Rusaknya Simbol tersebut berarti tatanan TAROMBO, Asal USUL leluhur Lae adalah Rusak.

    Mengapa lae lebih suka dengan simbol yang salah
    daripada membuktikan kebenaran?.

    Sadarkah lae, simbol patung leluhur yang ada disana merupakan Simbol diri Lae dan Seluruh orang Batak???

    Sadarkah lae, jika simbol berupa patung itu, Monyet, Kucing dan Babi adalah Leluhur Lae, Berarti Lae menerima kalau Lae adalah Keturunan salah Satu dari ke-3 Hewan tersebut.

    Itulah Pengtingnya KEBENARAN BATU HOBON.
    ASAL-usul Orang Batak, dan Kepaercayaan kepada Allah Bapa yang Tri Tunggal Tuhan Kita.

    1. Thn 1986 Renovasi Batu Hobon.
    2. Thn 1988 Upacara pemusnahan pusaka peninggalan
    Nyi Roro Kidul (BIDING LAUT) putri dari Raja
    Tea-Tea Bulan di Pantai Selatan.
    3. Gondang Nyi Roro Kidul di Taman Mini disokong
    Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

    ini Hasil pekerjaan suatu organisasi yang terdiri dari dukun (Paranormal),Pendeta, ulama, dsb.

    Kalau Tokoh agama selalu berkotbah bahwa perdukunan adalah suatu berhala penyembah setan, lalu,,,,,,,

    Mengapa mereka bersatu untuk hal ini ?
    Lalu yang jadi setannya siapa?

    Mungkin bagi lae semuanya ini tidak penting, tetapi bagi Kerajaan ALLAH ini sangat penting.
    tiada hal yang paling penting selain Kebenaran Kerajaan Allah, Kerajaan Kasih.
    Tidakkah kamu mau kembali ke jalan yang benar sebelum HARI PENGHAKIMAN yang hanya beberapa masa lagi??????

    salam kasih,,,,,,,,alvatarz111@gmail.com,,,,,,,,

    Like

  2. Sulit bagi saya membandingkan keramahan, kekasaran atau pendeknya perilaku batak perantau atau batak yang tinggal di bonapasogit karena saya sangat jarang pulang ke huta.
    Namun proses asimilasi batak perantauan dimata saya sangatlah menarik.

    Batak perantuan umumnya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, adat dan budaya sekitarnya (jika tidak tentu tdk dpt bertahan) namun saya tetap mengingat akar daerah asal.

    Yang menarik, soal perilaku saudara2 yang di huta, ada yang memang tidak sopan tapi banyak yang yang lembut. Saya rasa itu kembali kepada kepribadian masing – masing

    Like

Leave a comment