Susah-gampang mengelola penderita sakit

bule ketiduranBersyukurlah kalau hari ini anda sehat walafiat, artinya anda dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa mengeluhkan kondisi tubuh yang baik. Mau kerja oke, mau bersantai tidak masalah. Makan banyak tetap  sehat, makan apa saja tidak ada pantangan, tubuh selalu siap untuk melakukan berbagai aktivitas.

Tapi kalau suatu hari anda jatuh sakit, dan penyakit itu bertahan untuk waktu yang cukup lama di tubuh anda, situasinya akan sangat berbeda, termasuk bagi orang-orang terdekat anda. Tentu tak ada orang yang mau menderita sakit, bahkan untuk penyakit ringan sekalipun kita selalu ingin menghindar. Ketika penyakit akhirnya mengganggu tubuh, barulah kita mulai sadar betapa bersyukurnya orang yang sehat, betapa berharganya kesehatan dan kebugaran.

Kalaupun anda saat ini sehat, tetapi anda bisa juga menghadapi masalah pelik kalau orang-orang terdekat anda menderita sakit. Anda bisa repot bukan main, kalau terpaksa “mengelola” penderita sakit, apakah itu pasangan, anak atau orang tua anda. Kerepotan mengelola penderita sakit bukanlah sesuatu yang mudah diselesaikan, setidaknya itulah yang saya saksikan beberapa waktu lalu.

Seorang penderita sakit, sebut saja Pak Rahmat, terbaring di rumah sakit. Pak Rahmat menderita asma yang cukup berat. Dalam setahun terakhir ia sudah beberapa kali harus dirawat di rumah sakit karena penyakit asma tersebut. Ia juga punya masalah dengan jantung. Pak Rahmat memang sudah cukup senior, beberapa bulan lagi ia akan genap berumur 71 tahun.

Terbaring di rumah sakit, Pak Rahmat bahkan harus buang air besar di ranjang, karena kondisi tubuhnya yang lemah. Selang yang tersambung dengan alat penyalur oksigen selalu harus dia gunakan agar ia bisa bernafas dengan sedikit lebih lega. Ketika menarik nafas, seluruh dadanya bergerak dan terdengar suara yang cukup keras keluar dari mulutnya. Bicaranya jadi terdengar agak sulit, dan terasa berat. Ia sulit tidur, dan tentu saja beberapa macam obat harus dimakan selain yang harus dimasukkan melalui jarum infus.

Di rumah sakit itu ia ditunggui istrinya yang cukup cekatan dan tampak tabah menghadapi penyakit suaminya. Kalau tiba waktunya makan, dengan sabar si istri menyuapi pak Rahmat yang sambil terengah-engah terus bicara ke sana kemari. Sang istri meladeni pembicaraan Pak Rahmat dengan  ceria, dan berusaha membesarkan hati suaminya. Belum berapa menit, Pak Rahmat sudah mengulang pembicaraan dan pertanyaannya yang sama dengan beberapa menit sebelumnya. Sesekali Bu Rahmat menjawab lagi pertanyaan berulang dari suaminya. Tetapi ia sering jengkel dengan pertanyaan suaminya yang terus berulang.

“Eh, pak, pertanyaanmu itu sudah 5 kali dalam 10 menit ini, bapak ngaco ngomongnya, mendingan enggak usah ngomong kalau itu-itu terus”, Bu Rahmat menumpahkan kekesalannya. Tapi Pak Rahmat, terus saja bicara sambil terengah-engah, seolah tak peduli dengan kekesalan istrinya.

Sore itu pak Rahmat harus mendapatkan tambahan obat melalui suntikan. Dua orang perawat jaga datang mengukur tekanan darah dan akan menyuntik Pak Rahmat. Melihat jarum suntik Pak Rahmat menolak untuk disuntik. Dengan sabar perawat merayu agar pak Rahmat mau disuntik melalui pipa infus yang sudah terpasang di tangan Pak Rahmat. Berkali-kali Pak Rahmat bersikeras menolak. Akhirnya perawat berkata:

“Saya hanya menjalankan perintah dokter lho pak, kalau bapak tidak mau disuntik, ibu harus tanda tangani surat pernyataan bahwa bapak tak mau diberi obat. Saya hanya menjalankan tugas.

“Saya tak mau tandatangan!, bapak harus mau di suntik obat kalau mau sembuh”, istri pak Rahmat menimpali. Akhirnya perawat meninggalkan pak Rahmat karena masih harus melayani pasien lain.  Sepeninggal perawat, istri Pak Rahmat kembali membujuk dan menjelaskan pentingnya suntikan itu bagi Pak Rahmat. Bu Rahmat bicara terus setengah membujuk, setengah memaksa ia berusaha meyakinkan suaminya kalau suntikan itu memang diperlukan sesuai perintah dokter. Pak Rahmat terus ngomel, “Apa betul obat itu tidak palsu?”, Pak Rahmat sambil terus menggerutu.

Bu Rahmat menjadi sedikit marah mendengar omongan suaminya. Si istri terus membujuk agar suaminya mau disuntik. Cukup lama sang istri membujuk, suara bu Rahmat yang semula bernada marah, sampai akhirnya terdengar lirih seperti terisak memohon agar suaminya mau menerima obat suntikan. Setelah cukup lama akhirnya pak Rahmat mengalah, ia bersedia disuntik. Bu Rahmat kemudian mendatangi perawat yang sudah kembali ke pos jaganya. Akhirnya perawat memberi obat suntikan ke jarum infus.

Perilaku orang sakit seperti Pak Rahmat sering membuat orang sehat menjadi ikut sakit. Mengelola penderita sakit ternyata tidak mudah. Boleh jadi pasien seperti Pak Rahmat sudah merasa bosan dan hampir putus asa karena terlalu sering dirawat di rumah sakit. Ia harus menderita berkepanjangan, merasa sakit, bahkan untuk bernafas saja mengalami kesulitan. Orang-orang di sekitarnya jadi ikut menderita.

Kesehatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dan mahal. Tapi orang sehat sering tak menyadarinya, baru setelah jatuh sakit, kesadaran penting dan bernilainya kesehatan mulai timbul. Sangat sedikit orang yang benar-benar bertindak menjaga kesehatan ketika ia masih sehat. Itupun biasanya setelah punya pengalaman mengelola penderita sakit.

 

 

Leave a comment